Vaksinasi yang dimulai pada 14 Januari 2021 ini memiliki target populasi yang divaksi sebesar 181,5 juta orang. Sayangnya, data dari Kemenkes mencatat hingga medio Juni 2021, jumlah masyarakat yang sudah mendapatkan vaksin masih kurang dari 25 persen dari target yang diharuskan.
Hingga saat ini telah digunakan vaksin CoronaVac dari Sinovac, Covid-19 dari PT BioFarma, dan Vaksin AstraZeneca untuk program vaksinasi dari Pemerintah. Dalam waktu dekat, vaksin Sinopharm dari China akan digunakan dalam skema vaksin gotong-royong.
Kendati demikian, dari aneka vaksin yang digunakan di Indonesia, terdapat dua vaksin yang masih menuai kecemasan atau pro dan kontra di antara masyarakat terutama AstraZeneca. Banyak pertanyaan yang datang terkait dengan keamanan vaksin AstraZeneca, salah satunya adalah terkait dengan berita-berita bahwa vaksin ini dapat menyebabkan pembekuan darah, yang bisa berakibat fatal yaitu kematian.
“Adanya kematian 3 orang pasca vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca beberapa waktu lalu memang menyisakan rasa takut pada sebagian masyarakat. Tapi sebenarnya sudah dijelaskan oleh Prof Hindra, Ketua Komnas KIPI, bahwa 2 dari 3 orang yang meninggal itu bisa dipastikan tidak berhubungan dengan vaksin,” ujar pakar farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Zullies Ikawati, PhD. Apt. melalui keterangannya.
Baca juga: Pembekuan darah akibat AstraZeneca sebagian besar dialami perempuan
Baca juga: Vaksin AstraZeneca efektif hadapi varian Delta
Prof Zullies menjelaskan bahwa dari tiga orang yang meninggal, salah satu meninggal karena terinfeksi COVID-19, kemudian ada yang mengalami radang paru dan yang ketika pada saat ini masih dalam proses investigasi mendalam terkait kausalitasnya dengan vaksin AstraZeneca.
Lantas benarkah vaksin AstraZeneca dapat menyebabkan pembekuan darah ?
Prof Zullies memaparkan bahwa dari hasil evaluasi European Medicines Agency (EMA), sejauh ini memang dijumpai ada hubungan kuat antara kejadian pembekuan darah dengan penggunaan vaksin AstraZeneca.
“Tetapi kejadiannya sangat jarang. Sampai tanggal 5 Mei 2021, di Eropa telah ada laporan kejadian pembekuan darah akibat vaksin ini sebanyak 262 kasus, dengan 51 diantaranya meninggal, dari penggunaan sebanyak 30 juta dosis vaksin. Jika dihitung, maka prosentase kejadiannya sangat kecil sekali,” jelas Prof. Zullies.
Mungkin karena prosentase yang kecil itulah EMA, yang menyerupai BPOM di Eropa, masih menilai bahwa kalaupun memang vaksin ini dapat menyebabkan reaksi pembekuan darah, manfaatnya masih lebih besar daripada risikonya, sehingga vaksin ini tetap boleh diberikan.
Hingga kini masih dipelajari apa yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Tetapi seorang peneliti Jerman, Greinacher, menduga bahwa reaksi pembekuan darah yang jarang ini berkaitan dengan platform vaksinnya, yaitu viral vector menggunakan adenovirus.
Kendati demikian hal ini memang belum bisa dipastikan mekipun penelitian sebelumnya menggunakan platform adenovirus ternyata menghasilkan reaksi yang sama, yaitu aktivasi platelet yang menyebabkan pembekuan darah, sebagaimana dijelaskan Zullies.
Reaksi yang sama ternyata juga dijumpai pada penggunaan vaksin Johnson and Johnson yang menggunakan platform yang sama, yaitu adenovirus. Penggunaan vaksin Johnson & Johnson sempat dihentikan di Amerika dan setelah dievaluasi bisa digunakan kembali, sebagaimana dilaporkan dari laman Healthline.
Diduga ada reaksi imun yang berlebihan terhadap vaksin yg berasal dari adenovirus, ketika vaksin tersebut berikatan dengan platelet, kemudian memicu serangkaian reaksi imun yang menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Reaksi ini sebenarnya bisa membaik sendiri, tetapi ada yang bisa berakibat fatal.
Reaksi semacam ini mirip dengan reaksi yang dijumpai pada pasien yang sensitif terhadap heparin, suatu obat pengencer darah. Alih-alih mengencerkan darah, malah yang terjadi darahnya membeku.
Namun harus kembali diingat, bahwa kondisi ini sangat jarang terjadi karena dari 30 juta dosis vaksin hanya terdapat 200-an kasus terjadinya pembekuan darah. Hal serupa juga dikatakan oleh Dr. Doug Brown, CEO di British Society for Immunology.
“Terjadinya KIPI setelah dosis pertama vaksin AstraZeneca tampaknya sangat jarang sekitar 1 banding 100.000, dan seperti potensi sisi lain efek vaksin COVID-19, risiko ini tetap jauh lebih rendah daripada risiko efek kesehatan serius yang terkait dengan COVID-19,” ujar dia dikutip dari laman MedicalDaily News.
Gejala pembekuan darah
Meski demikian, tidak ada salahnya kita sebagai penerima vaksin untuk mengetahui gejala-gejala terjadinya pembekuan darah yang harus diwaspadai.
Pembekuan darah yang terjadi akibat vaksin AstraZeneca kebanyakan dijumpai pada pembuluh darah di daerah kepala, yang disebut cerebral venous sinus thrombosis (CVST).
“Gejala-gejalanya adalah sakit kepala yang hebat, kadang disertai dengan gangguan penglihatan, mual, muntah, gangguan berbicara. Bisa juga dijumpai nyeri dada, sesak nafas, pembengkakan pada kaki atau nyeri perut. Kadang dijumpai lebam di bawah kulit. Jika terdapat gejala-gejala demikian, segera saja mencari bantuan medis,” ujar Zullies. Di Eropa pada umumnya reaksi ini terjadi pada 3 hari hingga 14 hari setelah vaksinasi.
Yang menarik dari kasus pembekuan darah yang terjadi pada penggunaan vaksin ini di Eropa, sebagian besar terjadi pada usia muda (di bawah 40 tahun), bahkan di bawah 30 tahunan, dan kebanyakan adalah wanita. Karena itu, di Inggris, badan otoritas setempat merekomendasikan bagi mereka yang berusia di bawah 40 tahun untuk menggunakan vaksin selain AstraZeneca.
Namun demikian, jika sudah menggunakan vaksin AstraZeneca pada suntikan pertama dan tidak mengalami masalah apapun, disarankan untuk meneruskan suntikan kedua dengan vaksin Astra Zeneca lagi.
Pertanyaan yang kini muncul adalah bagaimana dengan orang-orang yang memiliki riwayat pembekuan darah? Apakah boleh menggunakan vaksin AstraZeneca ?
“Sebenarnya belum ada bukti bahwa orang-orang dengan riwayat pembekuan darah (deep vein thrombosis, stroke, jantung iskemi) berisiko mengalami pembekuan darah akibat vaksin. Yang lebih berisiko justru mereka yang pernah mengalami heparin-induced thrombocytopenia and thrombosis (HITT or HIT type 2), namun kejadian ini pun sangat jarang,” kata Zullies menjelaskan.
Sementara untuk vaksin Sinopharm adalah vaksin buatan China dan telah diujikan di beberapa negara. Vaksin Sinopharm telah masuk dalam daftar WHO dan mendapatkan EUA di China, Uni Emirat Arab, Bahrain, Mesir dan Yordania, dan kini juga di Indonesia. Vaksin ini menggunakan platform yang sama dengan vaksin Sinovac, yaitu virus yang diinaktivasi.
Dalam uji klinik di Uni Emirat Arab, efikasi vaksin Sinopharm mencapai 78 persen, dan vaksin ini dapat digunakan pada populasi usia 18 tahun ke atas sampai lansia. Karena memiliki platform yang sama dengan vaksin Sinovac, maka profil efek sampingnya juga mirip, di mana frekuensi kejadian efek sampingnya adalah 0,01 persen atau terkategori sangat jarang, seperti dilaporkan MedicalNews Daily.
“Efek samping yang dijumpai dalam uji klinik adalah efek samping lokal yang ringan, seperti nyeri atau kemerahan di tempat suntikan, dan efek samping sistemik berupa sakit kepala, nyeri otot, kelelahan, diare dan batuk. Efek-efek samping ini segera membaik dan umumnya tidak memerlukan pengobatan,” kata Zullies.
Masyarakat tidak perlu kuatir dengan efek samping vaksin, baik vaksin AstraZeneca maupun Sinopharm. Secara umum, dari hasil evaluasi terhadap uji klinik yang telah melibatkan ribuan orang di berbagai negara, manfaat vaksin jauh melebihi risiko efek sampingnya.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) secara umum bersifat ringan sampai sedang dan bersifat individual, dan adanya KIPI juga menunjukkan bahwa vaksinnya sedang bekerja. Namun jika ada KIPI yang dirasa berat, segera saja dilaporkan kepada kontak yang sudah diberikan untuk bisa segera mendapatkan penanganan.
Selain ditangani, KIPI juga akan dievaluasi oleh Komite KIPI terkait dengan hubungan kausalitasnya dengan vaksin sehingga bisa menjadi data yang berharga dalam program vaksinasi.
Baca juga: Vaksin AstraZeneca, Pfizer efektif melawan COVID-19 varian Delta
Baca juga: Dinkes: Lampung terima 530 vial vaksin AstraZeneca
Baca juga: Jepang sumbang vaksin COVID AstraZeneca ke Thailand
Oleh Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Sumber : https://www.antaranews.com/berita/2228602/lebih-dekat-dengan-astrazeneca-dan-sinopharm
Written by: Bens Radio
Post comments (0)