Ketika suaminya dinyatakan positif COVID-19, Anita Rosalina mungkin merasa sendirian tanpa pertolongan jika saja dia tidak mendapat dukungan dari teman-teman terdekat. Beberapa kali dia mengalami serangan panik. Dia merasa khawatir terinfeksi. Bahkan dia mengalami gejala-gejala seperti demam, gemetar, diare, sakit tenggorokan dan merasa dingin di bagian telapak tangan dan kaki, meski hasil tes usap PCR negatif.
Anita menyadari dia membutuhkan bantuan lebih lanjut dari orang yang profesional. Dia kemudian menghubungi psikolog yang menyarankannya melatih mindfulness ketika serangan panik datang.
“Kita hadir di momen itu, pikiran yang utama, dengan memberikan rangsangan pada sensor seperti memegang sesuatu, membaui sesuatu, mengamati dan menggambar objek,” kata Anita kepada ANTARA.
Baca juga: Kasus bunuh diri melonjak 200 persen sejak “lockdown”? Cek faktanya!
Baca juga: Psikolog: religiusitas tak berkaitan dengan kesehatan mental
Dengan demikian, dia bisa menepis pikiran liar yang mengganggu ketenangan batin.
Di rumah, Anita menjaga protokol kesehatan dan menjaga jarak dengan suami yang menjalani isolasi mandiri. Kamar tidur, toilet sampai peralatan makan dipisahkan agar tidak ada risiko tertular. Dia juga menanamkan pikiran positif bahwa risiko tertular bisa ditekan selama dia tetap disiplin menjalani protokol kesehatan. Makanan bergizi dan vitamin jadi asupan utama agar daya tahan tubuh tidak menurun.
“Untuk kesehatan mental, saya terhubung dengan keluarga dan teman-teman yg sangat suportif. Mereka mengecek keadaan saya beberapa kali sehari melalui telepon atau WhatsApp,” lanjut Anita.
Untungnya, masyarakat sekitar rumahnya di Cibubur, Jakarta Timur, tidak memberi stigma buruk karena sudah paham COVID-19 bisa menimpa siapa saja.
Tapi masih ada stigma mengenai COVID-19 di sekitar lingkungan Sella Gareta, seorang penyintas COVID-19 yang berdomisili di Tangerang. Sella sejak awal sudah menyiapkan diri untuk menerima situasi bahwa tidak mudah untuk diterima kembali di masyarakat setelah terpapar COVID-19.
“Sebetulnya bukan hanya masyarakat, kita sendiri juga otomatis tidak mudah kembali ke masyarakat. Secara alami masih ada perasaan takut menularkan, padahal sudah tidak,” kata Sella.
Perlahan dia mulai terbiasa dengan situasi tersebut dan kondisi psikisnya mulai pulih. Saat ini dia banyak beraktivitas di dalam rumah dan tidak berinteraksi langsung dengan orang-orang di luar rumah. Komunikasi dilakukan lewat media sosial. Bila terpaksa harus bertemu langsung, dia selalu memakai masker dan menjaga jarak. Sebagai usaha menyampaikan informasi yang benar kepada lingkungan sekitar, Sella mengirimkan video-video yang bisa menghapus stigma soal penyintas COVID-19 di masyarakat.
“Saya berharap masyarakat semakin paham,” katanya.
Dian Kandipi adalah penyintas COVID-19 yang bermukim di Jayapura. Ketika harus memisahkan diri dari suami dan buah hatinya yang masih kecil, dia berusaha menjaga pikiran positif dengan melakukan banyak hal yang disukai. Dian pun berusaha cuek dengan omongan dari orang lain yang memosisikan dia sebagai orang yang “mengerikan” karena terpapar virus. Dian bersyukur banyak teman di lingkungan sekitar yang memahami seluk beluk virus corona dan akhirnya turut membantu memulihkan kondisi psikisnya.
Sementara bagi Fidin, memulihkan kondisi psikis pasca COVID-19 jauh lebih mudah dibandingkan tekanan batin yang dialami saat dinyatakan positif virus corona. “Saat terinfeksi, oksigen yang masuk ke kepala saja sudah sedikit, apalagi buat berpikir jernih?”
Karyawan yang bermukim di daerah Kelapa Gading, Jakarta itu bukan cuma menghadapi masalah berupa penyakit, tetapi juga omongan tetangga. Kabar dirinya terinfeksi virus corona sontak menyebar di apartemen tempatnya menetap. Para tetangga yang merasa “satu atap” merasa sangat khawatir bisa tertular.
“Efeknya, ada pengaruh psikologis yang membuat imunitas makin turun karena stigma dan dijauhi tetangga,” tutur dia.
Fidin memilih untuk mengisolasi diri di tempat lain dan mengikuti semua arahan dari ketua Rukun Tetangga serta tenaga medis dari puskesmas. Pengelola apartemen juga senantiasa membersihkan tempat-tempat umum yang sering dilewati penghuni untuk menekan risiko penyebaran virus.
Baca juga: Pesan positif pandemi COVID-19 sejak hampir setahun terakhir
Baca juga: Jalan-jalan di alam bantu Anda tetap waras selama pandemi COVID-19
Menenangkan diri
Bermacam cara dilakukan penyintas COVID-19 maupun orang-orang di sekitarnya untuk senantiasa menjaga kesehatan batin. Setelah terpapar COVID-19, Sella merasa jadi lebih sensitif, terutama ketika ditanyai soal kesehatan atau kondisinya.
“Aneh ya, tapi setiap ditanya bagaimana kondisi kita, kita kayak merasa ‘oh iya ya, aku sakit, aku COVID.’ Malah bikin down,” katanya. Dia merasa lebih terhibur ketika ditanya hal-hal lain yang tidak berhubungan, juga ketika mendapatkan bingkisan sebagai bentuk dukungan dari orang terdekatnya, tanpa dibanjiri pertanyaan mengenai kondisinya.
Sella memupuk semangat dengan menonton video-video yang lucu di YouTube, minum vitamin, rajin berjemur dan tetap berdoa. Selama isolasi, dia menghindari berita-berita soal COVID-19 demi pikirannya lebih tenang.
Sedangkan Fidin mengurangi interaksi dengan orang lain saat terpapar, pun mengurangi intensitas pemakaian handphone. Fokusnya diarahkan untuk proses penyembuhan. Gawai dipakai hanya untuk keperluan mendesak, atau sekadar memberi kabar kepada orangtua.
“Ketika saya mengalami panik berlebihan, saya juga memanfaatkan teknologi yang ada dengan berkonsultasi dengan psikolog lewat platform telemedicine.”
Menurut Fidin, diperlakukan sama seperti biasa oleh orang-orang sekitar setelah dia sembuh dari COVID-19 juga merupakan sebuah bentuk dukungan. Apalagi para penyintas juga semakin sadar dan melek soal COVID-19 serta tetap mengikuti protokol kesehatan, sebab mereka sudah merasakan sendiri “enggak enaknya” kena COVID-19, ujar Fidin.
Berkaca dari pengalaman, Anita mengatakan dukungan bisa didapatkan dari tetangga terdekat yang bisa membantu dari hal-hal mendasar, seperti memberikan makanan yang mengandung protein untuk membantu proses pemulihan. Dukungan tak sekadar lewat barang, tapi bisa juga melalui perhatian lewat telepon atau sekadar pesan singkat. Sebab, kata Anita, sapaan dan dukungan itu sangat berarti untuk orang yang terpapar virus corona, juga mereka di sekitarnya.
“Memang rasanya COVID-19 adalah penyakit yang ‘sunyi atau sendiri’, tapi sebenarnya kita sebagai manusia dapat selalu terhubung. Dan terhubung dengan yang lain sangat berarti bagi mereka yang terpapar atau caregiver,” ujarnya.
Anita menambahkan, bantuan berupa uang juga bisa membantu karena butuh biaya yang tidak sedikit untuk menjalani tes usap PCR dan antigen berkali-kali, membeli masker medis, sarung tangan medis, vitamin sampai mendisinfeksi rumah dan segala isinya.
Dian mengatakan hal serupa, butuh biaya untuk menjalankan isolasi mandiri di rumah demi menekan risiko penyebaran virus agar orang-orang yang tinggal seatap darinya tetap terlindung.
“Sungguh menguras kantong,” tutur Dian, menambahkan fasilitas yang disediakan pemerintah atau kantor masing-masing, bila tersedia, sebaiknya dimanfaatkan karena bakal membantu. Sebagai penyintas, Dian berpesan kepada orang-orang yang mengalami hal sama dengannya untuk tetap bersemangat karena badai pasti berlalu, juga teruslah berusaha agar tetap bahagia agar kekebalan tubuh meningkat.
“Happy bukan orang lain yang kasih, tapi happy kita sendiri yang ciptakan. Sedih boleh, terpuruk jangan.”
Tumbuhkan empati
Menumbuhkan rasa empati dan solidaritas penting dalam menghadapi orang di sekitar yang terpapar COVID-19, kata psikolog Analisa Widyaningrum dalam saluran YouTube, dikutip Senin. Kurangnya informasi masyarakat mengenai COVID-19 dapat menciptakan stigma, akibatnya orang yang terpapar COVID-19 bisa merasa terkucil karena dianggap sebagai aib. Analisa mengatakan, pastinya diri akan merasa khawatir dan tidak tenang ketika mengetahui orang terdekat terinfeksi COVID-19.
“Saat mendengar kabar, pertama tenangkan diri kita dan minta support dari orang lain. Karena mau panik ataupun tidak, hasilnya tetap sama dan situasinya tidak berubah,” kata Analisa.
Rasa sedih dan terkejut tak bisa dipungkiri, jalani dengan menenangkan diri. Atur pernapasan, mendekat dengan Sang Pencipta dan minta dukungan dari orang-orang terdekat. Dia menyarankan untuk bicara kepada orang yang dipercaya, ajak berdiskusi untuk mencari solusi. Bila orang terdekat Anda terpapar, segera periksa apakah Anda juga terinfeksi. Jangan lupa untuk melakukan penelusuran kontak, hubungi orang-orang yang belakangan berinteraksi dengan Anda.
Sementara itu, psikolog sekaligus konselor Employee Assistance Program di BUMN dan Lembaga Negara Mira Amir dalam bincang daring bersama Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 di Graha BNPB Oktober lalu, mengatakan selalu berpikir positif dan berbahagia adalah solusi untuk menghadapi stigma negatif dari orang di sekitar terhadap pasien COVID-19.
Mira mengatakan, fokus pada apa yang bisa diubah dalam menghadapi stigma negatif, hal yang membuat diri bahagia dan nyaman. Jangan pikirkan stigma negatif. Ia mengatakan, pandangan negatif orang-orang di sekitar terhadap pasien COVID-19 bisa dikarenakan oleh kurangnya informasi yang mereka peroleh mengenai penyakit COVID-19. Oleh karena itu, ada orang-orang yang menjadi khawatir atau enggan untuk berinteraksi dan cenderung menjauhi orang-orang yang teridentifikasi positif COVID-19.
Jika masyarakat mengetahui informasi mengenai penyebaran dan penularan COVID-19, masyarakat bisa lebih bijaksana dan tidak berpandangan negatif terhadap mereka yang terpapar di sekitarnya. Untuk pasien COVID-19, dia berpesan agar maklum terhadap orang-orang yang belum paham dan lebih fokus memulihkan diri dengan cara tetap bahagia dan berpikir positif.
Baca juga: Psikolog: Kenali gejala “burn out” dan cara mengatasinya
Baca juga: Lonjakan kasus bunuh diri akhiri penurunan 10 tahun terakhir di Jepang
Baca juga: Pandemi yang menimbulkan kelelahan emosi
Oleh Nanien Yuniar
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Sumber : https://www.antaranews.com/berita/2000181/cara-pulihkan-psikis-setelah-terpapar-covid-19
Written by: Bens Radio
Post comments (0)