Bens Radio 106.2 FM Jakarta
Sebanyak 30 anak terpilih melakukan ekspedisi ke planet jauh dengan misi menemukan tempat hidup layak karena bumi sudah tak bisa ditinggali lagi.
Baca juga: “Seobok”, menyusuri makna hidup dari klon yang tak bisa mati
Sejak awal mereka sudah tahu perjalanan tak akan hanya sebentar, melainkan perlu waktu hingga 86 tahun. Mereka bereproduksi selama misi. Ini artinya, bisa jadi sosok-sosok yang sampai di planet baru adalah anak-anak atau bahkan cucu mereka.
Pada awalnya semua baik-baik saja, setidaknya saat Richard (diperankan aktor Collin Farrel) masih mengawasi tim. Tetapi, Christopher (Tye Sheridan) dan Zac (Fionn Whitehead) perlahan curiga ada rahasia di balik misi. Keduanya menduga ada upaya meracuni tim lewat asupan makanan.
Mereka mulai menentang aturan lewat cairan biru dan dari sanalah kekacauan dan kegilaan para kru terjadi. Insting naluriah mereka bangkit dan bahkan sampai tak terkendali. Hasilnya, sebagian mereka dikuasai rasa takut, nafsu dan rasa lapar yang tak terpuaskan akan kekuasaan dan seks.
Tetapi sebagian mereka merasa itu bagus, setidaknya mendatangkan rasa senang. Zac salah satunya. Berawal dari perasaan pada Sela (Lily-Rose Depp) yang tak berbalas dia akhirnya sosok antagonis yang mengerikan.
Baca juga: “Tersanjung The Movie” yang benar-benar bikin tersanjung
Dia berhasil membuat orang-orang dihantui rasa takut berlebihan pada sesuatu yang sebenarnya belum bisa mereka pastikan kebenarannya, lalu bertindak di luar akal sehat. Mereka bahkan tidak tahu sebenarnya ancaman apa yang mereka hadapi ada di luar pesawat atau pilihan mereka sendiri.
Pada suatu titik, Christopher dibantu Sela dan beberapa lainnya sadar kesalahan mereka dan mencoba memperbaikinya, walau harus bertarung dan membahayakan nyawa mereka sendiri. Saat itu juga mereka diuji, percaya pada pola pikir rasional ataukah termakan nafsu seperti Zac.
Akankah mereka mampu mengembalikan yang salah pada tempat seharusnya, lalu apa misi mereka berhasil?
Baca juga: “Chaos Walking”, pertarungan melawan isi pikiran manusia
Neil yang sebelumnya menyutradarai “Divergent” (2014) begitu apik menyuguhkan film bergenre fiksi sains, thriller sekaligus petualangan ini dalam visualisasi mumpuni, terutama pesawat luar angkasa dengan teknologi canggihnya.
Sebagian besar adegan dalam film berada di sana, sehingga penonton akan diajak berkeliling berbagai bagian pesawat yang didominasi koridor putih tak berujung.
Walau ini bisa menjemukkan, dan rasanya kurang fantastis dibanding film serupa yang pernah ada, tetapi, tampaknya relevan dengan Anda dan kebanyakan orang-orang di awal masa pandemi COVID-19 hingga saat ini.
Film sebenarnya direkam sebelum pandemi, tetapi perasaan terisolasi dan putus asa yang dialami karakter dan paranoia yang menguasai kru melalui adegan “terkurung” di dalam pesawat, sama seperti saat Anda tidak disarankan tetap berada di rumah sebisa mungkin, demi menghindari tertular virus yang sudah merenggut jutaan nyawa di dunia.
Di sisi lain, unsur penting yang mungkin ingin ditonjolkan di sini bukan mengenai misi luar angkasa, tetapi sisi manusiawi makhluk bernama manusia modern yang begitu khawatir pada ancaman, ingin meluapkan rasa senang bahkan sekedar iri atas pencapaian positif orang lain.
Baca juga: “Moxie”, upaya Amy Poehler kenalkan feminisme pada Gen Z
Hal ini diakui Neil. Dalam sebuah wawancara dia mengatakan, “Voyagers” relevan tayang tahun ini saat orang-orang terkurung karena pandemi. Dia juga berusaha menggambarkan bagaimana ketakutan dapat dipicu dan dimanipulasi dan digunakan oleh orang-orang yang berkuasa untuk tujuan mereka sendiri. Orang yang pada awalnya bisa berpikir rasional bahkan bisa didorong ke dalam paranoia dan kekerasan massal.
Benturan antara memilih percaya pada akal sehat ataukah nafsu dan kemudian condong pada salah satunya seperti yang dialami para tokoh tampaknya bisa dipahami. Ini membuat “Voyagers” berbeda dari kebanyakan film sains fiksi bertema luar angkasa.
Keputusan Zac dan rekan-rekannya merusak pesawat tanpa mempertimbangkan efeknya, lalu mualim Christopher yang tak bisa tegas dan pandai memberikan solusi bisa bisa memicu rasa geram.
Selain itu, bila pada film mereka yang mendapat misi di luar angkasa digambarkan sebagai sosok-sosok yang cerdas, namun di “Voyagers” sosok yang ditampilkan cenderung tak mementingkan akal sehat dan tak sehebat itu.
Dari sisi jalan cerita, sebenarnya relatif mudah dipahami karena Neil menjelaskannya secara gamblang sejak awal sehingga nyari tak ada misteri. Belum lagi nyaris tak ada sensasi menegangkan khas film bertema serupa kecuali adegan perkelahian dan tembak menembak antar karakter. Walau begitu, akting para aktor bisa diacungi jempol.
Ketimbang fokus pada kecanggihan teknologi sebuah film tentang misi luar angkasa, “Voyager” berpihak pada orang-orang yang merasakan dorongan batin mereka, saat harus membuat pilihan mereka sendiri dan melakukan hal yang benar.
“Voyagers” bisa menjadi salah satu pilihan Anda di masa pandemi COVID-19, terutama bila sudah berusia 17 tahun. Film berdurasi 108 menit ini sudah bisa dinikmati di bioskop tanah air.
Baca juga: “Wonder Woman 1984” ungkap pentingnya kejujuran
Baca juga: “White Tiger”, “underdog” yang menentukan takdirnya sendiri
Baca juga: “Stand by Me Doraemon 2”, petualangan Nobita menjelajahi waktu
Oleh Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Sumber : https://www.antaranews.com/berita/2134138/voyagers-soal-pilihan-percaya-akal-atau-nafsu
Written by: admin
“Voyagers”, soal pilihan percaya akal atau nafsu H Beno Benyamin
“Voyagers”, soal pilihan percaya akal atau nafsu H.Beno Benyamin
Post comments (0)